Friday, March 3, 2017

Makalah Wayang Wong Yogyakarta

MAKALAH
SENI TEATER

“WAYANG WONG YOGYAKARTA”


SMA NEGERI-1 SAMPIT
MATA PELAJARAN SENI TEATER

Pengantar
Daerah istimewa Yogyakarta merupakan salah satu kota pariwisata di Indonesia yang daya tariknya telah terkenal sampai ke manca negara. Daya tarik utamanya tentu saja adalah unsur-unsur budaya tradisional yang masih tetap terjaga dan melekat pada setiap lapisan masyarakat Yogyakarta. Sesuai dengan namanya, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain. Hal ini dibuktikan dengan adanya Kraton sebagai institusi non-formal yang memiliki peran besar dalam melestarikan dan menjaga nilai-nilai tradisi masyarakat Jawa.

Wayang wong merupakan salah satu produk kebudayaan istana Kraton Yogyakarta di antara sekian banyak produk kebudayaan lainnya. Wayang wong pada dasarnya merupakan seni pertunjukan wayang yang mana tokoh-tokohnya diperankan oleh manusia, bukan oleh boneka wayang atau hasil kerajinan kulit. Tradisi pergelaran wayang wong dimulai sejak masa Sultan Hamengku Buwana I, yang sekaligus dianggap sebagai penciptanya. Wayang wong Yogyakarta dinyatakan melambangkan nilai-nilai istana yang ia ciptakan.

Dalam tulisan ini, penulis hendak membahas seluk-beluk wayang wong Yogyakarta tersebut. Tampaknya, diciptakannya wayang wong tidak sekedar untuk menambah kasanah warisan budaya lokal, melainkan lebih dari itu, juga mengandung nilai falsafah yang tinggi dan merupakan suatu bentuk upaya pelegitimasian kekuasaan sultan atas Yogyakarta.

Wayang Wong di Mata Masyarakat
Bagi masyarakat Yogyakarta, wayang wong adalah bentuk kesenian kraton yang sangat istimewa. Wayang wong merupakan sebuah genre tari yang bisa dikategorikan sebagai suatu pertunjukan total yang di dalamnya tercakup seni tari, seni drama, seni sastra, seni musik, dan seni rupa. Karena itu, amat jelas terlihat bahwa wayang wong merupakan produk kesenian elit yang bernilai amat tinggi. Untuk menampilkan sebuah produksi wayang wong yang besar memerlukan hadirnya sejumlah seniman dari berbagai cabang seni.

Pertunjukan wayang wong umumnya merupakan pertunjukan besar yang bahkan dapat memakan waktu berhari-hari. Untuk itu, jelas dibutuhkan persipan yang matang dan panjang serta biaya yang tak kalah tinggi. Karena itulah wayang wong tidak dapat dipertunjukkan setiap tahun.

Untuk bisa membawakan peran dalam wayang wong dengan baik, seorang pemeran tidak hanya harus menguasai teknik tarinya saja, melainkan juga yang tidak kalah pentingnya adalah penjiwaan dari karakter yang dibawakan. Ketika menari ia harus lebur dalam karakter perannya. Untuk memperoleh penjiwaan yang baik diperlukan latihan yang intensif dan berat. Oleh karena beratnya syarat tersebut satu orang hanya diperbolehkan memerankan satu tokoh dalam wayang wong. Seseorang yang sudah dapat menjiwai karakter tokoh dalam wayang wong, kadang terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya seseorang memerankan tokoh Bima, dalam keseharian ia seperti Bima dalam wayang wong.

Pertunjukan wayang wong Yogyakarta merupakan pertunjukan yang identik dengan kerajaan. Pertunjukan wayang wong selalu diadakan di istana dan yang terlibat adalah kaum ningrat. Para penarinya adalah putra-putra sultan, kerabat sultan serta abdi dalem. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari kenyataan bahwa istana, selain merupakan pusat politik, juga pusat perkembangan dan perubahan budaya. Istana menjadi kiblat dari segala ukuran nilai seni.

Walau pun begitu, rakyat biasa selalu diperbolehkan menonton dengan syarat-syarat tertentu. Para penonton rakyat jelata ini harus mematuhi adat tata cara kraton. Penonton wanita berkain pinjungan (mengenakan kain penutup dada) tanpa baju, dan penonton pria telanjang dada. Dengan menyaksikan pergelaran wayang wong di keraton, rakyat akan menerima percikan dari berkah-dalem, yaitu restu dari sultan. Maka tak mengherankan apabila pada setiap hari pertunjukan, tidak kurang dari 3.000 rakyat Yogyakarta menyaksikan pergelaran ritual ini.

Pergelaran-pergelaran wayang wong yang megah umumnya dilakukan dengan tujuan untuk memperingati hari-hari tertentu yang berkaitan dengan kehidupan raja atau istana. Ada yang dipergunakan sebagai penyajian estestis yang dinikmati sultan beserta tamu undangan, atau untuk menyambut peristiwa penting, misalnya ulang tahun sultan pada tahun 1934, atau untuk merayakan perkawinan Ratu Juliana dengan Pangeran Bernhard van Lippe-Biesterfeld tahun 1937.


Filosofi Wayang Wong
Pementasan wayang wong kiranya bukan hanya pertunjukan biasa tetapi ada faktor kuat lain yang melatar belakangi. Kebudayaan wayang merupakan kebudayaan yang penuh filsafat dan pendidikan. Tujuan utama dari penciptaan wayang wong oleh Sultan Hamengku Buwana I adalah demi nilai estetis, yaitu keinginan sultan untuk menampilkan sebuah pertunjukan drama tari yang menggambarkan perbuatan-perbuatan kepahlawanan dari para kesatria yang terdapat dalam epos Mahabarata. Melalui wayang wong inilah sultan ingin mengarahkan putera-puteranya, serta kerabat-kerabatnya untuk memahami benar-benar karakter–karakter ksatria dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun ada peranan puteri dalam wayang wong, tetapi yang membawakannya adalah penari laki-laki yang masih remaja dan berwatak halus. Hal ini dilandasi oleh etika dan tata susila yang tidak memperbolehkan adanya pergaulan dekat pria dan wanita. Puteri sultan dan kerabat wanita hanya dididik untuk menari bedhaya dan srimpi yang juga mengandung filsafat hidup dan pendidikan budi pekerti luhur.

Tari gaya Yogyakarta mengandung unsur-unsur pendidikan jiwa dan tata krama yang luas dan mendalam. Penjiwaan yang merupakan dasar filsafat seni tari Yogyakarta (terkenal dengan istilah Joged Mataram) terdiri atas empat dasar pokok harus dapat dikuasai dengan baik. Empat dasar tersebut adalah sawiji, greged, sengguh dan oramingkuh. Untuk mencapai tingkat joged Mataram dibutuhkan konsentrasi yang bulat yang tercermin pada unsur pertama yaitu sewiji, yang berarti seluruh sanubarinya harus dipusatkan pada satu tekad untuk menari sebaik mungkin dalam batas kemampuannya, tetapi dengan menggunakan segala potensi yang dimilikinya. Pengertian kedua yaitugreged, adalah bahwa dinamika jiwa atau semangat saat menari harus disalurkan lewat gerak dengan pengendalian yang sempurna agar dapat menghindari kekasaran. Ketigasengguh yang berarti percaya pada kemampuan sendiri. Namun demikian hal itu harus dikekang agar jangan sampai menjurus pada sikap sombong. Unsur keempat dari joged Mataram adalah Ora Mingkuh berarti pantang mundur. Artinya bahwa dalam keadaan apapun seseorang tidak akan meninggalkan kewajiban sebagai seorang penari, bahkan dalam kondisi sakit sekalipun. Joged Mataram secara implisit mirip dengan ajaran kebatinan. Namun tahap-tahap penguasaan ajaran tersebut lebih ditujukan pada pengabdian yang mendalam pada seorang raja.

Busana Penari
Busana yang dikenakan para pemain wayang wong pada awal perkembangannya masih sangat sederhana. Meskipun demikian justru dengan kostum tersebut penari dituntut lebih berat dalam masalah penjiwaan. Tanpa bantuan  identitas khusus dari pakaian, penari harus mampu menampilkan tokoh yang dibawakannya antara tokoh yang satu dengan yang lain. Untuk hiasan kepala penari laki-laki, pada waktu itu dipergunakan 3 macam corak. Pertama dester tepen untuk peran prajurit dan ksatria, kedua songkokuntuk peran raja, ketiga udeng gilig dengan topeng untuk peran raksasa. Hiasan kepala wanita hanyalah jamang, sumping ron dengan gelung bokor  (sanggul yang bentuknya menyerupai tempayan).

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII terjadi pembaharuan dan perubahan dalam tata busana wayang wong. Pakaian wayang wong diciptakan oleh K.R.T. Jayadipura, yang menggunakan tata busana wayang kulit sebagai pola dasarnya, sehingga memudahkan penonton untuk membedakan peran yang satu  dengan lainnya. Busana wayang wong memperoleh bentuknya yang utuh pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII.
Perkembangan Wayang Wong dalam Sejarah
Bagi kraton Yogyakarta, wayang wong tidak sekedar salah satu jenis seni pertunjukan, tetapi telah dianggap pusaka, untuk melegitimasi kekuasaan tradisional sultan. Diciptakannya wayang wong tidak terlepas dari asal usul berdirinya kraton Yogyakarta (perjanjian Giyanti, 1755). Ketika memisahkan diri dari Surakarta, sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) menciptakan wayang wong, yakni sebuah pementasan cerita-cerita dari wayang purwa dengan aktor manusia menggantikan boneka wayang. Hal ini dianggap perlu sebagai pusaka yang melegitimasi kekuasaannya dan juga simbol ikatan dengan leluhurnya, Panembahan Senopati dan Ratu Selatan. Ketika itu, keraton Surakarta telah memiliki tari Bedhaya Ketawang, suatu genre tari wanita yang menggambarkan ikatan spiritual antara Panembahan Senopati dengan Ratu Selatan. Sultan Yogyakarta tidak ingin menirunya begitu saja, melainkan merasa perlu mengadakan sesuatu yang baru.

Wayang wong gaya Yogyakarta mengalami puncak perkembangan dan mencapai bentuknya yang sempurna dan bulat pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII (1912-1939). Dibandingkan dengan penguasa sebelumnya, pentas wayang wong zaman Hamengku Buwono VIII ternyata berlangsung berkali-kali. Zaman Hamengku Buwono I dua kali pentas, Hamengku Buwono II sampai dengan Hamengku Buwono IV satu kali pentas, Hamengku Buwono V lima kali pentas, bahkan Zaman Hamengku Buwono VI tidak ada pentas. Zaman Hamengku Buwono VII hanya satu kali pentas, tetapi pada zaman Hamengku Buwono VIII telah terjadi sebelas kali pentas.

Pada masa Hamengku Buwono VIII, di Istana Yogyakarta diproduksi pertunjukkan wayang wong sebanyak 15 lakon, yang sebagian bersumber pada wiracarita Mahabharata. Pertunjukan wayang wong di Istana Yogyakarta ada yang berlangsung selama empat hari berturut, yakni pada tahun 1923 (lakon Jayasemedi dan Sri Suwela) dan tahun 1925 (lakon Samba Sebit dan Suciptahening Mintaraga) serta yang terpendek selama satu hari. Pertunjukkan wayang wong selalu dimulai pukul 06.00 sampai pukul 22.00 atau 23.00, kemudian diteruskan esok harinya pada jam-jam yang sama.
Pergelaran wayang wong secara besar-besaran di Istana Yogyakarta pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII ialah :
1.         Tahun 1923 selama empat hari dengan lakon Jaya Semadi dan Sri Suwela
2.         Tahun 1925 selama empat hari dengan lakon Samba Sebit dan Suciptaning Mintaraga
3.         Tanggal 13 sampai 15 Februari 1928 (tiga hari) dengan lakon Parta Krama, Srikandi Meguru Manah dan Sumbadra Pralaya / Sumbrada Larung.
4.         Tanggal 14 Juli 1929 selama satu hari dengan lakon Jayapusaka.
5.         Tanggal 26 Februari 1932 selama sehari dengan lakon Sumbadra Pralaya.
6.        Tanggal 22 sampai 24 Juli 1933 (tiga hari) dalam bentuk gladi resik (dress rehearsal) dengan lakon Semar Boyong, Rama Nitik, dan Rama Nitis.
7.         Tanggal 18 sampai 20 Agustus 1934 (tiga hari) dengan lakon Semar Boyong, Rama Nitik, dan Rama Nitis.
8.         Tanggal 17 sampai 18 Januari 1937 (dua hari) dengan lakon Suciptahening Mintaraga.
9.         Tahun 1938 selama sehari dengan lakon Suciptahening Mintaraga.
10.       Tanggal 18 sampai 20 Maret 1938 (dua hari) dengan lakon Pregiwa-Pregiwati, Angkawijaya Krama dan Pancawala Krama.
11.       Tanggal 19 sampai 20 Agustus 1939 (dua hari) dengan lakon Pragdamurti. 

Setelah sultan Hamengku Buwono VIII wafat, praktis wayang wong juga mulai mengalami kemunduran. Bersamaan dengan Perang Dunia II, wafatnya beliau membawa perubahan politik di keraton Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwana IX sebagai penggantinya sangat disibukkan urusan politik sehingga kurang memperhatikan masalah seni termasuk wayang wong. Selera estetis masyarakat juga berubah. Pergelaran wayang wong dinilai terlalu panjang dan menelan banyak biaya. Selain itu, penari-penari pada jaman sebelum perang kemerdekaan adalah seniman-seniman profesional yang mengabdi secara total, dan mendapat kedudukan sosial yang baik. Sebagai penari istana mereka mendapat gaji tetap, mendapat anugerah pangkat yang cukup tinggi, fasilitas-fasilitas tertentu, dan kadang-kadang bisa diangkat sebagai menantu sultan. Hal tersebut untuk saat ini mustahil dilakukan. Penari-penari saat ini yang berlatih di organisasi-organisasi adalah penari sambilan. Sesudah Indonesia merdeka tahun 1945, latar belakang konsep etis dan pendidikan Jawa juga sudah banyak berubah dibandingkan dengan jaman dulu, sehingga ketertarikan pada seni tari menjadi berkurang.

Lakon-Lakon Wayang Wong
Lakon-lakon yang dipentaskan dalam pertunjukan wayang wong adalah sebagai berikut:

Jayapusaka
Lakon Jaya Pusaka adalah sebuah carangan dari wiracaritera Mahabarata. Lakon ini menggambarkan ceritera tentang Werkudara, saudara kedua dari para Pandawa, yang menobatkan dirinya sendiri sebagai raja besar dari Jodipati. Ia merencanakan untuk menundukan semua raja di dunia. Untuk maksud ini ia mengirim utusan-utusan ke segala penjuru untuk meminta penyerahan diri mereka. Werkudara menyebut dirinya sebagai Raja Jayapusaka. Ia sangat sakti karena Sang Yang Wenang, dewa tertinggi, merasuk ketubuhnya. Lakon ini dalam pertunjukan wayang wong merupakan satu lakon terpendek berlangsung selama satu hari di istana Yogyakarta tahun 1929.

Pragolamurti
Lakon ini merupakan carangan dari Wiracarita Mahabarata yang menggambarkan seorang pertapa tua bernama Begawan Pragolamurti, yang jatuh cinta kepada Siti Sendari putri Kresna. Tiga orang pelamar lainnya yaitu Leksmana Dakumara (putra Duryudana), Raja Athasura, dan Angkawijaya juga mendambakan sang putri. Akhirnya Angkawijayalah yang memenangkan sayembara dan Siti Sundari menjadi calon pengantinnya. 

Pregiwa-Pregiwati
Lakon ini merupakan lakon carangan dari Wiracarita Mahabarata menggambarkan pengembaraan dua orang putri kembar Arjuna yang bernama Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati yang kemudian menjadi dua orang patah (pelengkap dari upacara pernikahan). Lakon ini mencakup tiga buah episode: pertama,  penggambaran kedua putri kembar itu dalam upaya untuk mencari ayah mereka yaitu Arjuna; kedua, pernikahan Angkawijaya dengan Siti Sundari; dan ketiga pernikahan antara Pancawala putra Yudistira dengan Pregiwati. Lakon ini juga menceritakan kisah cinta antara Gathutkaca dengan Pregiwa, serta Bambang Irawan dengan Dewi Titisari (putri yang lain dari Kresna).

Sri Suwela
Lakon ini merupakan alah satu lakon pertunjukan wayang wong terpanjang, berlangsung selama empat hari di istana Yogyakarta pada tahun 1923. Lakon ini adalah sebuah carangan yang menggambarkan cerita tentang Dewi Persalawati, isteri pertama Werkudara, yang mencari suaminya dengan menyamar sebagai Raja dari Parangretna bernama Sri Suwela.

Partakrama
Lakon Partakrama atau perkawinan Arjuna yang menggambarkan perkawinan Arjuna (Parta) dengan Dewi Wara Sumbadra, adik perempuan Prabu Kresna. Namun demikian Arjuna beserta para saudara Pandhawa harus menghadapi dua pelamar lain yaitu Burisrawa (saudara ipar Prabu Suyudana dan Prabu Baladewa) serta Prabu Surya Wasesa dari Ngendracana. Lakon ini berakhir dengan peperangan Pandhawa melawan  Prabu Suryowasesa. Dalam kedua perang itu para Pandhawa keluar sebagai pemenang.

Srikandi Meguru Manah
Lakon Srikandi Meguru Manah atau Srikandi jemparingan (yang berarti Srikandi belajar memanah) adalah sebuah carangan yang menceritakan tentang hilangnya Srikandhi dari Cempala. Ayahnya yaitu Prabu Drupada sangat cemas tentang nasib puterinya ini.Dalam lakon Partakrama direritakan bahwa Srikandhi tak tahan menyaksikan Arjuna yang tampan saat meninggalkan perayaan perkawinan. Alasan Srikandhi meninggalkan Cempala adalah untuk bisa bertemu dengan ksatria idamannya yaitu Arjuna dengan mengikuti pelajaran memanah dari sang ksatria. Setelah menjalankan pengekangan diri ia menerima nasehat dari Bhatara Guru, yang menceritakan kepadanya  bahwa untuk dapat menikah dengan Arjuna ia harus menyamar sebagai seorang raksasa dengan memasuki tubuh Prabu Kandhehawa yang telah mati.

Sumbadra Larung
Lakon Sembrada Larung atau Sumbadra jatuh di jurang adalah sebuah carangan tentang  penculikan Sumbadra oleh seorang Raja dari seberang, Prabu Jathayeksa. Burisrawa yang jatuh cinta kepada Sumbadra berusaha mendapatkannya dari sang raja, tetapi keduanya tak berhasil, karena sang putri melarikan diri dari mereka. Celakanya ia jatuh ke sebuah jurang yang sangat dalam. Antereja, Putra Werkudara yang lahir dari isterinya yang pertama Pertalawati, mendapatkan Sumbadra ketika ia sedang mencari ayahnya. Dalam pertunjukan wayang kulit lakon ini juga dikenal sebagai lakon Antareja takon bapa atau “Antareja mencari sang Ayah” cerita ini berakhir dengan pertemuan antara  Sumbadra dengan Arjuna.

Semar Boyong
Lakon Semar Boyong atau “penculikan Semar” merupakan cerita carangan yang di dalamnya dijumpai sebuah kombinasi dari cerita yang berasal dari Mahabarata dan Ramayana. Lakon ini mengenai kerajaan Pancawatidhendha yang mengalami masa kemiskinan.  Satu-satunya sarana untuk meningkatkan kemakmuran negara adalah memiliki Semar, abdi penasehat yang paling setia dari para Pandhawa. Ceritera itu juga meramalkan bahwa barang siapa bisa memilik Semar, yang sebenarnya adalah Dewa Ismaya, kerajaannya akan makmur. Maka sebuah perang segitiga terjadi antara para Pandhawa, kerajaan Pancawatidhendha, serta para Kurawa. Pandhawalah yang keluar sebagai pemenangnya.

Rama Nitik
Lakon Rama Nitik atau “Rama Mencuri Tokoh untuk Merintis” adalah sebuah carangan yang mengambil cerita Ramayana, yang sebenarnya masih merupakan kombinasi antara Ramayana dan Mahabarata. Lakon ini menceritakan tentang Prabu Ramawijaya yang mencari, pada siapa tempat ia bisa merintis (tempat berinkarnasi), yaitu Prabu Kresna. Untuk membantu pencariannya ia melamar Dewi Wara Drupadi, istri Yudistira. Lakon ini merupakan kelanjutan dari lakon Semar Boyong.

Rama Nitis
Lakon ini mengambil cerita Ramayana, yang sebenarnya masih merupakan kombinasi antara Ramayana dan Mahabarata. Lakon Rama Nitis atau “Reinkarnasi Rama” menggambarkan reinkarnasi Rama ke tubuh Kresna. Lakon ini merupakan kelanjutan dari Rama Nitik. Persaingan yang khas untuk mendapatkan putri juga ditampilkan dalam lakon ini. Istri Prabu Barata, yaitu Dewi Antrakawulan menawarkan sebuah sayembara, bahwa ia hanya akan mencintai ksatria yang dapat menebak teka-tekinya. Empat orang peserta sayembara tampil dalam kompetisi itu, dan Leksmana keluar sebagai pemenang. Namun demikian, sebenarnya keikutsertaannya dalam sayembara itu adalah atas nama Barata, hingga Antrakawulan bisa dipertemukan kembali dengan suaminya. Lakon ini berakhir dengan reinkarnasi Prabu Rama ke dalam Prabu Kresna. 


Penutup
Wayang wong merupakan bentuk seni pertunjukan yang amat kompleks dan bernilai tinggi. Sebagai sebuah produk kesenian istana, wayang wong mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam hidup kebangsawanan. Ketika Sultan Hamengku Buwono I menciptakannya untuk pertama kali, wayang wong memang dimaksudkan selain untuk legitimasi posisinya, juga sebagai bentuk sajian estetis yang menawarkan nilai-nilai kehidupan yang luhur yang tersirat dalam lakon-lakon sastra yang dipenataskan.

Dalam perjalanan waktu, popularitas wayang wong memang kerap memudar. Setiap bentuk kesenian, apa bila tidak dipelihara dengan serius memang senantiasa terancam kehilangan daya tariknya. Setelah wafatnya sultan Hamengku Buwono VIII, praktis wayang wong mulai terlupakan dan kurang begitu populer lagi sebagai kesenian istana. Hal ini tentu memprihatinkan bagi siapa pun yang punya perhatian terhadap kehidupan warisan-warisan kekayaan kebudayaan.


Indonesia merupakan negri yang begitu kaya dengan produk-produk budaya lokal. Sayang sekali jika produk-produk itu tidak dipelihara dengan baik. Sering kali karena kurangnya perhatian, produk budaya Indonesia ’dicuri’ dan diklaim sebagai milik oleh bangsa asing. Jika rasa cinta terhadap produk kebudayaan itu tidak terus dipupuk pada tiap generasi, kemungkinan besar di masa yang akan datang lahir generasi berkarakter lemah karena terputusnya warisan nilai-nilai kehidupan dari generasi-generasi pendahulu bangsa ini.

Daerah Sampit, Kotawaringin Timur

Assalamualaikum wr.wb. temen-temen kali ini saya akan menceritakan gimana sih tempat tinggal saya. ada yang tau dimana? kalau kalian bac...