MAKALAH
SENI TEATER
“WAYANG WONG
YOGYAKARTA”
SMA NEGERI-1 SAMPIT
MATA PELAJARAN SENI TEATER
Pengantar
Daerah istimewa
Yogyakarta merupakan salah satu kota pariwisata di Indonesia yang daya tariknya
telah terkenal sampai ke manca negara. Daya tarik utamanya tentu saja adalah
unsur-unsur budaya tradisional yang masih tetap terjaga dan melekat pada setiap
lapisan masyarakat Yogyakarta. Sesuai dengan namanya, Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain. Hal
ini dibuktikan dengan adanya Kraton sebagai institusi non-formal yang memiliki
peran besar dalam melestarikan dan menjaga nilai-nilai tradisi masyarakat Jawa.
Wayang wong merupakan
salah satu produk kebudayaan istana Kraton Yogyakarta di antara sekian banyak
produk kebudayaan lainnya. Wayang wong pada dasarnya merupakan seni
pertunjukan wayang yang mana tokoh-tokohnya diperankan oleh manusia, bukan oleh
boneka wayang atau hasil kerajinan kulit. Tradisi pergelaran wayang wong
dimulai sejak masa Sultan Hamengku Buwana I, yang sekaligus dianggap sebagai
penciptanya. Wayang wong Yogyakarta dinyatakan melambangkan nilai-nilai istana
yang ia ciptakan.
Dalam
tulisan ini, penulis hendak membahas seluk-beluk wayang wong Yogyakarta
tersebut. Tampaknya, diciptakannya wayang wong tidak sekedar untuk menambah
kasanah warisan budaya lokal, melainkan lebih dari itu, juga mengandung nilai
falsafah yang tinggi dan merupakan suatu bentuk upaya pelegitimasian kekuasaan
sultan atas Yogyakarta.
Wayang Wong di Mata Masyarakat
Bagi
masyarakat Yogyakarta, wayang wong adalah bentuk kesenian kraton yang sangat
istimewa. Wayang wong merupakan sebuah genre tari yang bisa dikategorikan sebagai
suatu pertunjukan total yang di dalamnya tercakup seni tari, seni drama, seni
sastra, seni musik, dan seni rupa. Karena itu, amat jelas terlihat bahwa wayang
wong merupakan produk kesenian elit yang bernilai amat tinggi. Untuk menampilkan sebuah produksi wayang wong yang
besar memerlukan hadirnya sejumlah seniman dari berbagai cabang seni.
Pertunjukan
wayang wong umumnya merupakan pertunjukan besar yang bahkan dapat memakan waktu
berhari-hari. Untuk itu, jelas dibutuhkan persipan yang matang dan panjang
serta biaya yang tak kalah tinggi. Karena itulah wayang wong tidak dapat
dipertunjukkan setiap tahun.
Untuk
bisa membawakan peran dalam wayang wong dengan baik, seorang pemeran tidak
hanya harus menguasai teknik tarinya saja, melainkan juga yang tidak kalah
pentingnya adalah penjiwaan dari karakter yang dibawakan. Ketika menari ia
harus lebur dalam karakter perannya. Untuk memperoleh penjiwaan yang baik
diperlukan latihan yang intensif dan berat. Oleh karena beratnya syarat
tersebut satu orang hanya diperbolehkan memerankan satu tokoh dalam wayang
wong. Seseorang yang sudah dapat menjiwai karakter tokoh dalam wayang wong,
kadang terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya seseorang memerankan tokoh
Bima, dalam keseharian ia seperti Bima dalam wayang wong.
Pertunjukan
wayang wong Yogyakarta merupakan pertunjukan yang identik dengan kerajaan.
Pertunjukan wayang wong selalu diadakan di istana dan yang terlibat adalah kaum
ningrat. Para penarinya adalah putra-putra sultan, kerabat sultan serta abdi
dalem. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari kenyataan bahwa istana, selain
merupakan pusat politik, juga pusat perkembangan dan perubahan budaya. Istana
menjadi kiblat dari segala ukuran nilai seni.
Walau
pun begitu, rakyat biasa selalu diperbolehkan menonton dengan syarat-syarat
tertentu. Para penonton rakyat jelata ini harus mematuhi adat
tata cara kraton. Penonton wanita berkain pinjungan (mengenakan kain penutup dada) tanpa baju, dan
penonton pria telanjang dada. Dengan menyaksikan pergelaran wayang wong di
keraton, rakyat akan menerima percikan dari berkah-dalem, yaitu restu dari
sultan. Maka tak mengherankan apabila pada setiap hari pertunjukan, tidak
kurang dari 3.000 rakyat Yogyakarta menyaksikan pergelaran ritual ini.
Pergelaran-pergelaran
wayang wong yang megah umumnya dilakukan dengan tujuan untuk memperingati
hari-hari tertentu yang berkaitan dengan kehidupan raja atau istana. Ada yang
dipergunakan sebagai penyajian estestis yang dinikmati sultan beserta tamu
undangan, atau untuk menyambut peristiwa penting, misalnya ulang tahun sultan
pada tahun 1934, atau untuk merayakan perkawinan Ratu Juliana dengan Pangeran
Bernhard van Lippe-Biesterfeld tahun 1937.
Filosofi
Wayang Wong
Pementasan wayang wong kiranya bukan hanya
pertunjukan biasa tetapi ada faktor kuat lain yang melatar belakangi. Kebudayaan
wayang merupakan kebudayaan yang penuh filsafat dan pendidikan. Tujuan utama dari
penciptaan wayang wong oleh Sultan Hamengku Buwana I adalah demi nilai estetis,
yaitu keinginan sultan untuk menampilkan sebuah pertunjukan drama tari yang
menggambarkan perbuatan-perbuatan kepahlawanan dari para kesatria yang terdapat
dalam epos Mahabarata. Melalui
wayang wong inilah sultan ingin mengarahkan putera-puteranya, serta
kerabat-kerabatnya untuk memahami benar-benar karakter–karakter ksatria dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun
ada peranan puteri dalam wayang wong, tetapi yang membawakannya adalah penari
laki-laki yang masih remaja dan berwatak halus. Hal ini dilandasi oleh etika
dan tata susila yang tidak memperbolehkan adanya pergaulan dekat pria dan
wanita. Puteri sultan dan kerabat wanita hanya dididik untuk menari bedhaya dan
srimpi yang juga mengandung filsafat hidup dan pendidikan budi pekerti luhur.
Tari
gaya Yogyakarta mengandung unsur-unsur pendidikan jiwa dan tata krama yang luas
dan mendalam. Penjiwaan
yang merupakan dasar filsafat seni tari Yogyakarta (terkenal dengan istilah
Joged Mataram) terdiri atas empat dasar pokok harus dapat dikuasai dengan baik.
Empat dasar tersebut adalah sawiji, greged, sengguh dan oramingkuh. Untuk mencapai
tingkat joged Mataram dibutuhkan
konsentrasi yang bulat yang tercermin pada unsur pertama yaitu sewiji, yang
berarti seluruh sanubarinya harus dipusatkan pada satu tekad untuk menari
sebaik mungkin dalam batas kemampuannya, tetapi dengan menggunakan segala
potensi yang dimilikinya. Pengertian kedua yaitugreged, adalah bahwa dinamika
jiwa atau semangat saat menari harus disalurkan lewat gerak dengan pengendalian
yang sempurna agar dapat menghindari kekasaran. Ketigasengguh yang berarti
percaya pada kemampuan sendiri. Namun demikian hal itu harus dikekang agar
jangan sampai menjurus pada sikap sombong. Unsur keempat dari joged Mataram adalah Ora Mingkuh berarti pantang
mundur. Artinya bahwa dalam keadaan apapun seseorang tidak akan meninggalkan
kewajiban sebagai seorang penari, bahkan dalam kondisi sakit sekalipun. Joged
Mataram secara implisit mirip dengan ajaran kebatinan. Namun tahap-tahap
penguasaan ajaran tersebut lebih ditujukan pada pengabdian yang mendalam pada
seorang raja.
Busana Penari
Busana yang dikenakan para pemain wayang wong pada
awal perkembangannya masih sangat sederhana. Meskipun demikian justru dengan
kostum tersebut penari dituntut lebih berat dalam masalah penjiwaan. Tanpa bantuan
identitas khusus dari pakaian, penari harus mampu menampilkan tokoh yang
dibawakannya antara tokoh yang satu dengan yang lain. Untuk hiasan kepala
penari laki-laki, pada waktu itu dipergunakan 3 macam corak. Pertama dester tepen untuk
peran prajurit dan ksatria, kedua songkokuntuk
peran raja, ketiga udeng gilig dengan
topeng untuk peran raksasa. Hiasan kepala wanita hanyalah jamang, sumping ron dengan gelung
bokor (sanggul yang bentuknya menyerupai tempayan).
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana
VII terjadi pembaharuan dan perubahan dalam tata busana wayang wong. Pakaian
wayang wong diciptakan oleh K.R.T. Jayadipura, yang menggunakan tata busana
wayang kulit sebagai pola dasarnya, sehingga memudahkan penonton untuk
membedakan peran yang satu dengan lainnya. Busana wayang wong memperoleh
bentuknya yang utuh pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII.
Perkembangan Wayang Wong dalam Sejarah
Bagi
kraton Yogyakarta, wayang wong tidak sekedar salah satu jenis seni pertunjukan,
tetapi telah dianggap pusaka, untuk melegitimasi kekuasaan tradisional sultan.
Diciptakannya wayang wong tidak terlepas dari asal usul berdirinya kraton
Yogyakarta (perjanjian Giyanti, 1755). Ketika memisahkan diri dari Surakarta,
sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) menciptakan wayang wong, yakni sebuah
pementasan cerita-cerita dari wayang purwa dengan aktor manusia menggantikan
boneka wayang. Hal ini dianggap perlu sebagai pusaka yang melegitimasi
kekuasaannya dan juga simbol ikatan dengan leluhurnya, Panembahan Senopati dan
Ratu Selatan. Ketika itu, keraton Surakarta telah memiliki tari Bedhaya Ketawang, suatu genre tari wanita yang menggambarkan ikatan spiritual
antara Panembahan Senopati dengan Ratu Selatan. Sultan Yogyakarta tidak ingin
menirunya begitu saja, melainkan merasa perlu mengadakan sesuatu yang baru.
Wayang
wong gaya Yogyakarta mengalami puncak perkembangan dan mencapai bentuknya yang
sempurna dan bulat pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII
(1912-1939). Dibandingkan dengan penguasa sebelumnya, pentas wayang wong zaman
Hamengku Buwono VIII ternyata berlangsung berkali-kali. Zaman Hamengku Buwono I
dua kali pentas, Hamengku Buwono II sampai dengan Hamengku Buwono IV satu kali
pentas, Hamengku Buwono V lima kali pentas, bahkan Zaman Hamengku Buwono VI
tidak ada pentas. Zaman Hamengku Buwono VII hanya satu kali pentas, tetapi pada
zaman Hamengku Buwono VIII telah terjadi sebelas kali pentas.
Pada
masa Hamengku Buwono VIII, di Istana Yogyakarta diproduksi pertunjukkan wayang
wong sebanyak 15 lakon, yang sebagian bersumber pada wiracarita Mahabharata. Pertunjukan wayang wong di
Istana Yogyakarta ada yang berlangsung selama empat hari berturut, yakni pada
tahun 1923 (lakon Jayasemedi dan Sri Suwela) dan tahun 1925 (lakon Samba Sebit
dan Suciptahening Mintaraga) serta yang terpendek selama satu hari.
Pertunjukkan wayang wong selalu dimulai pukul 06.00 sampai pukul 22.00 atau
23.00, kemudian diteruskan esok harinya pada jam-jam yang sama.
Pergelaran
wayang wong secara besar-besaran di Istana Yogyakarta pada zaman pemerintahan
Sultan Hamengku Buwana VIII ialah :
1. Tahun 1923 selama empat hari dengan lakon Jaya
Semadi dan Sri Suwela
2. Tahun 1925 selama empat hari dengan lakon Samba
Sebit dan Suciptaning Mintaraga
3. Tanggal 13 sampai 15 Februari 1928 (tiga hari)
dengan lakon Parta Krama, Srikandi Meguru Manah dan Sumbadra Pralaya / Sumbrada
Larung.
4. Tanggal 14 Juli 1929 selama satu hari dengan lakon
Jayapusaka.
5. Tanggal 26 Februari 1932 selama sehari dengan lakon
Sumbadra Pralaya.
6. Tanggal 22 sampai 24 Juli 1933 (tiga hari) dalam
bentuk gladi resik (dress rehearsal) dengan lakon Semar Boyong, Rama Nitik, dan
Rama Nitis.
7. Tanggal 18 sampai 20 Agustus 1934 (tiga hari)
dengan lakon Semar Boyong, Rama Nitik, dan Rama Nitis.
8. Tanggal 17 sampai 18 Januari 1937 (dua hari) dengan
lakon Suciptahening Mintaraga.
9. Tahun 1938 selama sehari dengan lakon Suciptahening
Mintaraga.
10. Tanggal 18 sampai 20 Maret 1938 (dua hari) dengan
lakon Pregiwa-Pregiwati, Angkawijaya Krama dan Pancawala Krama.
11. Tanggal 19 sampai 20 Agustus 1939 (dua hari) dengan
lakon Pragdamurti.
Setelah
sultan Hamengku Buwono VIII wafat, praktis wayang wong juga mulai mengalami
kemunduran. Bersamaan dengan Perang Dunia II, wafatnya beliau membawa perubahan
politik di keraton Yogyakarta. Sultan
Hamengku Buwana IX sebagai penggantinya sangat disibukkan urusan politik
sehingga kurang memperhatikan masalah seni termasuk wayang wong. Selera estetis
masyarakat juga berubah. Pergelaran wayang wong dinilai terlalu panjang dan
menelan banyak biaya. Selain itu, penari-penari pada jaman sebelum perang
kemerdekaan adalah seniman-seniman profesional yang mengabdi secara total, dan
mendapat kedudukan sosial yang baik. Sebagai penari istana mereka mendapat gaji
tetap, mendapat anugerah pangkat yang cukup tinggi, fasilitas-fasilitas
tertentu, dan kadang-kadang bisa diangkat sebagai menantu sultan. Hal tersebut
untuk saat ini mustahil dilakukan. Penari-penari saat ini yang berlatih di
organisasi-organisasi adalah penari sambilan. Sesudah Indonesia merdeka tahun
1945, latar belakang konsep etis dan pendidikan Jawa juga sudah banyak berubah
dibandingkan dengan jaman dulu, sehingga ketertarikan pada seni tari menjadi
berkurang.
Lakon-Lakon Wayang Wong
Lakon-lakon
yang dipentaskan dalam pertunjukan wayang wong adalah sebagai berikut:
Jayapusaka
Lakon
Jaya Pusaka adalah sebuah carangan dari wiracaritera Mahabarata. Lakon ini menggambarkan ceritera
tentang Werkudara, saudara kedua dari para Pandawa, yang menobatkan dirinya
sendiri sebagai raja besar dari Jodipati. Ia merencanakan untuk menundukan
semua raja di dunia. Untuk maksud ini ia mengirim utusan-utusan ke segala
penjuru untuk meminta penyerahan diri mereka. Werkudara menyebut dirinya
sebagai Raja Jayapusaka. Ia sangat sakti karena Sang Yang Wenang, dewa
tertinggi, merasuk ketubuhnya. Lakon ini dalam pertunjukan wayang wong
merupakan satu lakon terpendek berlangsung selama satu hari di istana
Yogyakarta tahun 1929.
Pragolamurti
Lakon
ini merupakan carangan dari
Wiracarita Mahabarata yang menggambarkan seorang pertapa tua bernama Begawan
Pragolamurti, yang jatuh cinta kepada Siti Sendari putri Kresna. Tiga orang
pelamar lainnya yaitu Leksmana Dakumara (putra Duryudana), Raja Athasura, dan
Angkawijaya juga mendambakan sang putri. Akhirnya Angkawijayalah yang
memenangkan sayembara dan Siti Sundari menjadi calon pengantinnya.
Pregiwa-Pregiwati
Lakon
ini merupakan lakon carangan dari Wiracarita Mahabarata
menggambarkan pengembaraan dua orang putri kembar Arjuna yang bernama Endang
Pregiwa dan Endang Pregiwati yang kemudian menjadi dua orang patah (pelengkap
dari upacara pernikahan). Lakon ini mencakup tiga buah episode: pertama,
penggambaran kedua putri kembar itu dalam upaya untuk mencari ayah mereka yaitu
Arjuna; kedua, pernikahan Angkawijaya dengan Siti Sundari; dan ketiga
pernikahan antara Pancawala putra Yudistira dengan Pregiwati. Lakon ini juga menceritakan kisah cinta antara
Gathutkaca dengan Pregiwa, serta Bambang Irawan dengan Dewi Titisari (putri
yang lain dari Kresna).
Sri Suwela
Lakon
ini merupakan alah satu lakon pertunjukan wayang wong terpanjang, berlangsung
selama empat hari di istana Yogyakarta pada tahun 1923. Lakon ini adalah sebuah
carangan yang menggambarkan cerita tentang Dewi Persalawati, isteri pertama
Werkudara, yang mencari suaminya dengan menyamar sebagai Raja dari Parangretna
bernama Sri Suwela.
Partakrama
Lakon
Partakrama atau perkawinan Arjuna yang menggambarkan perkawinan Arjuna (Parta)
dengan Dewi Wara Sumbadra, adik perempuan Prabu Kresna. Namun demikian Arjuna
beserta para saudara Pandhawa harus menghadapi dua pelamar lain yaitu Burisrawa
(saudara ipar Prabu Suyudana dan Prabu Baladewa) serta Prabu Surya Wasesa dari
Ngendracana. Lakon ini berakhir dengan peperangan Pandhawa melawan Prabu
Suryowasesa. Dalam kedua perang itu para Pandhawa keluar sebagai pemenang.
Srikandi Meguru Manah
Lakon
Srikandi Meguru Manah atau Srikandi jemparingan (yang berarti Srikandi belajar
memanah) adalah sebuah carangan yang menceritakan tentang hilangnya Srikandhi
dari Cempala. Ayahnya
yaitu Prabu Drupada sangat cemas tentang nasib puterinya ini.Dalam lakon Partakrama direritakan bahwa Srikandhi
tak tahan menyaksikan Arjuna yang tampan saat meninggalkan perayaan perkawinan.
Alasan Srikandhi meninggalkan Cempala adalah untuk bisa bertemu dengan ksatria
idamannya yaitu Arjuna dengan mengikuti pelajaran memanah dari sang ksatria.
Setelah menjalankan pengekangan diri ia menerima nasehat dari Bhatara Guru,
yang menceritakan kepadanya bahwa untuk dapat menikah dengan Arjuna ia
harus menyamar sebagai seorang raksasa dengan memasuki tubuh Prabu Kandhehawa
yang telah mati.
Sumbadra Larung
Lakon
Sembrada Larung atau Sumbadra jatuh di jurang adalah sebuah carangan
tentang penculikan Sumbadra oleh seorang Raja dari seberang, Prabu Jathayeksa.
Burisrawa yang jatuh cinta kepada Sumbadra berusaha mendapatkannya dari sang
raja, tetapi keduanya tak berhasil, karena sang putri melarikan diri dari
mereka. Celakanya ia jatuh ke sebuah jurang yang sangat dalam. Antereja, Putra
Werkudara yang lahir dari isterinya yang pertama Pertalawati, mendapatkan
Sumbadra ketika ia sedang mencari ayahnya. Dalam pertunjukan wayang kulit lakon
ini juga dikenal sebagai lakon Antareja takon bapa atau “Antareja mencari sang
Ayah” cerita ini berakhir dengan pertemuan antara
Sumbadra dengan Arjuna.
Semar
Boyong
Lakon Semar Boyong
atau “penculikan Semar” merupakan cerita carangan yang di dalamnya
dijumpai sebuah kombinasi dari cerita yang berasal dari Mahabarata dan
Ramayana. Lakon ini mengenai kerajaan Pancawatidhendha yang
mengalami masa kemiskinan. Satu-satunya sarana untuk meningkatkan
kemakmuran negara adalah memiliki Semar, abdi penasehat yang paling setia dari
para Pandhawa. Ceritera itu juga meramalkan bahwa barang siapa bisa memilik
Semar, yang sebenarnya adalah Dewa Ismaya, kerajaannya akan makmur. Maka sebuah
perang segitiga terjadi antara para Pandhawa, kerajaan Pancawatidhendha, serta
para Kurawa. Pandhawalah yang keluar sebagai pemenangnya.
Rama Nitik
Lakon
Rama Nitik atau “Rama Mencuri Tokoh untuk Merintis” adalah sebuah carangan yang
mengambil cerita Ramayana, yang sebenarnya masih merupakan kombinasi antara
Ramayana dan Mahabarata. Lakon ini menceritakan tentang Prabu Ramawijaya yang
mencari, pada siapa tempat ia bisa merintis (tempat berinkarnasi), yaitu Prabu
Kresna. Untuk membantu pencariannya ia melamar Dewi Wara Drupadi, istri
Yudistira. Lakon ini merupakan kelanjutan dari lakon Semar Boyong.
Rama Nitis
Lakon
ini mengambil cerita Ramayana, yang sebenarnya masih merupakan kombinasi antara
Ramayana dan Mahabarata. Lakon
Rama Nitis atau “Reinkarnasi Rama” menggambarkan reinkarnasi Rama ke tubuh
Kresna. Lakon ini merupakan kelanjutan dari Rama Nitik. Persaingan yang khas
untuk mendapatkan putri juga ditampilkan dalam lakon ini. Istri Prabu Barata,
yaitu Dewi Antrakawulan menawarkan sebuah sayembara, bahwa ia hanya akan
mencintai ksatria yang dapat menebak teka-tekinya. Empat orang peserta
sayembara tampil dalam kompetisi itu, dan Leksmana keluar sebagai pemenang.
Namun demikian, sebenarnya keikutsertaannya dalam sayembara itu adalah atas
nama Barata, hingga Antrakawulan bisa dipertemukan kembali dengan suaminya.
Lakon ini berakhir dengan reinkarnasi Prabu Rama ke dalam Prabu Kresna.
Penutup
Wayang
wong merupakan bentuk seni pertunjukan yang amat kompleks dan bernilai tinggi.
Sebagai sebuah produk kesenian istana, wayang wong mencerminkan nilai-nilai
yang dijunjung tinggi dalam hidup kebangsawanan. Ketika Sultan Hamengku Buwono
I menciptakannya untuk pertama kali, wayang wong memang dimaksudkan selain
untuk legitimasi posisinya, juga sebagai bentuk sajian estetis yang menawarkan
nilai-nilai kehidupan yang luhur yang tersirat dalam lakon-lakon sastra yang
dipenataskan.
Dalam
perjalanan waktu, popularitas wayang wong memang kerap memudar. Setiap bentuk
kesenian, apa bila tidak dipelihara dengan serius memang senantiasa terancam
kehilangan daya tariknya. Setelah wafatnya sultan Hamengku Buwono VIII, praktis
wayang wong mulai terlupakan dan kurang begitu populer lagi sebagai kesenian
istana. Hal ini tentu memprihatinkan bagi siapa pun yang punya perhatian
terhadap kehidupan warisan-warisan kekayaan kebudayaan.
Indonesia
merupakan negri yang begitu kaya dengan produk-produk budaya lokal. Sayang
sekali jika produk-produk itu tidak dipelihara dengan baik. Sering kali karena
kurangnya perhatian, produk budaya Indonesia ’dicuri’ dan diklaim sebagai milik
oleh bangsa asing. Jika rasa cinta terhadap produk kebudayaan itu tidak terus
dipupuk pada tiap generasi, kemungkinan besar di masa yang akan datang lahir
generasi berkarakter lemah karena terputusnya warisan nilai-nilai kehidupan
dari generasi-generasi pendahulu bangsa ini.